Kasus yang melibatkan PT. DU melawan Direktur Jenderal Pajak ini menyoroti sebuah area abu-abu yang menarik: perbedaan interpretasi antara standar akuntansi komersial dan ketentuan pajak.
Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-011203.12/2023/PP/M.XVIB Tahun 2025 bukan sekadar kemenangan bagi sebuah perusahaan, melainkan penegasan penting tentang substansi transaksi di atas sekadar nama akun.
Kisah ini bermula dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 23 Masa Pajak September 2020. Terbanding (DJP) mengoreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 23 Pemohon Banding sebesar Rp1.816.239.461,00.
Jantung sengketa ini adalah pembelian aset alat bongkar muat (seperti RMG dan STS) pada tahun 2016 oleh PT DU dari PT IL. Nilai total transaksinya fantastis: Rp490 miliar (di luar PPN), dibayar secara angsuran selama 15 tahun tanpa bunga alias interest-free.
Masalah muncul karena PT DU, untuk keperluan pelaporan keuangan komersial, menggunakan prinsip akuntansi dengan mencatat utang tersebut berdasarkan Nilai Kini Bersih (Net Present Value/NPV) (Rp335,7 miliar). Selisih antara nilai total angsuran (Rp490 miliar) dan NPV inilah yang dicatat secara berkala sebagai Interest Expense-SNP dan Interest Expense-OM dalam pembukuan komersial.
DJP, yang menemukan akun "Interest Expense" ini, langsung menyimpulkan bahwa PT DU membayar bunga, dan oleh karena itu, transaksi tersebut wajib dipotong PPh Pasal 23.
PT DU membela diri dengan argumentasi yang logis:
Ironisnya, dalam proses keberatan PPh Badan, DJP justru membatalkan koreksi Pemeriksa dan pada dasarnya menyetujui bahwa Interest Expense tersebut tidak boleh dibiayakan secara fiskal. Namun, DJP tetap ngotot mengenakan PPh Pasal 23 atasnya.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak turun tangan untuk menilai fakta dan bukti. Setelah menimbang-nimbang, Majelis Hakim dengan tegas memenangkan Pemohon Banding:
Dengan putusan ini, Pengadilan Pajak secara keseluruhan mengabulkan banding PT DU, membatalkan seluruh koreksi DJP, dan menetapkan jumlah PPh yang masih harus dibayar (termasuk sanksi) menjadi Nihil (Rp0).
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi otoritas pajak dan Wajib Pajak agar selalu mendahulukan substansi ekonomi dan hukum dari sebuah transaksi, daripada sekadar terpaku pada nomenklatur atau nama akun yang digunakan dalam pembukuan komersial.